Selain perangkat intelektual, fisik, dan spiritual, manusia pun dikaruniai satu perangkat dahsyat yang bernama emosi.
Dengan intelektual, manusia bisa berpikir,
dengan fisik manusia manusia bisa bergerak dan melakukan aneka pekerjaan,
dengan spiritual, manusia bisa mengenal dan menjalin hubungan dengan dunia metafisika.
Bagaimana dengan emosi?
Ada macam-macam emosi yang membuat manusia mampu merasa, mengungkapkan apa yang dirasakannya, sekaligus memberi warna dan dinamika bagi perangkat lainnya.
Tanpa adanya emosi, manusia bukan lagi manusia, tidak ada dinamika, dramatisasi, canda tawa, dia akan menjadi robot tak berperasaan yang hanya memandang hidup secara sempit,
hitam putih,
benar salah.
Tanpa adanya emosi, walau hanya sebagian saja, manusia bisa lebih kejam dari binatang yang paling kejam sekali pun.
Lihatlah para psikopat, mereka umumnya memiliki kecerdasan dan kecerdikan di atas rata-rata, penampilannya menawan, skill-nya menakjubkan, kata-katanya meyakinkan, pembawaannya menawan, namun sayang bagian otak yang bernama amigdala —mengatur aktivasi emosi-emosi yang tidak disukai, semacam ketakutan dan kecemasan—mengalami kerusakan sehingga mereka tidak lagi memiliki perasaan dan pemahaman terhadap moralitas yang paling dasar sekali pun.
Itulah mengapa, mereka tidak memiliki rasa belas kasihan, kengerian, penyesalan, dan segala haru biru perasaan.
Bagi mereka, tidak ada bedanya antara menusuk mata boneka dengan mata manusia,
antara menusuk-nusuk benda mati dengan mencabik-cabik tubuh makhluk bernyawa.
Pertimbangan baik dan buruk hanya diefektori oleh rasio belaka atau segala sesuatu yang dapat memuaskan keinginannya.
Sejatinya, pada diri manusia normal, bersemayam sejumlah emosi yang memungkinkannya untuk berekspresi dengan beragam tampilan.
Para psikolog membedakan emosi-emosi tersebut ke dalam dua katagori, yaitu emosi dasar (primer) dan emosi campuran (mixed).
R. Plutchik misalnya, dia mengungkapkan ada empat emosi dasar dalam diri manusia, yaitu
kegembiraan (joy),
ketakutan (fear),
kesedihan (sadness), dan
kemarahan (anger).
Keempat jenis emosi ini umumnya disepakati sebagai emosi dasar.
Di luar keempat emosi tersebut, ada dua emosi lain yang belum disepakati sebagai emosi dasar, yaitu
keterkejutan (surprise) dan
rasa jijik (disgust).
Walaupun belum ada kata sepakat di antara para pakar, akan tetapi keenam emosi dasar ini dapat ditemukan pada semua manusia normal di seluruh dunia.
Sarlito Wirawan (2000: 30) mengungkapkan kesimpulan tersebut,
“Para peneliti mendapatkan bukti yang sangat meyakinkan bahwa setidaknya terdapat enam bentuk emosi yang dapat diidentifikasikan di seluruh dunia, yaitu rasa gembira, takut, marah, sedih, jijik, dan terkejut.â€
Perpaduan di antara keenam emosi dasar tersebut atau perpaduan dengan emosi lainnya akan melahirkan emosi jenis kedua, yaitu
emosi campuran.
Sebagai contoh, emosi senang (joy) yang berkombinasi dengan penerimaan (acceptance), akan melahirkan emosi cinta (love), emosi sedih (sadness) yang berkombinasi dengan kejutan (surprise) akan melahirkan kekecewaan yang mendalam (disappointment).
Bisa pula terjadi kombinasi antara dua emosi tidak sejenis, semacam cinta (love) dengan marah (anger) yang melahirkan rasa cemburu (jealousy).
Macam-macam emosi ini, baik dasar maupun campuran, merupakan komponen penting dalam menjaga eksistensi hidup manusia, selama emosi tersebut tetap terkontrol dan mampu bersinergi dengan komponen-komponen lainnya, semacam rasio, spiritual, dan fisik.
Proses sinergi dan kontrol yang baik akan menjadikan emosi manusia mampu berjalan sesuai fitrahnya, yaitu sebagai pembangkit energi (energizer), sebagai pembawa informasi (messenger), maupun sebagai media komunikasi,
intra maupun interpersonal.
Pengendalian emosi jiwa
Bagaimana cara seseorang mengendalikan emosi jiwa?
Kadang, ketika berhadapan dengan kenyataan, ada saja harapan kita yang tidak terkabul.
Belum lagi jika kita bertemu dengan orang-orang licik dalam pekerjaan atau kehidupan, yang kadang menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadinya.
Kita yang selalu berusaha menjadi orang baik, malah ditelikung dari belakang.
Belum lagi dengan sikap orang-orang yang seharusnya mendukung kita.
Kadang, saat kita jatuh, mereka tidak ada dan justru semakin menjatuhkan mental kita.
Berikut ini tips untuk mengontrol emosi.
Jangan mudah menyalahkan sesuatu yang datang dari luar diri
Kadang, kita begitu mudah menyalahkan orang lain, tetapi selalu beralibi setiap kita melakukan kesalahan. Bahkan, jika orang lain dan kita melakukan kesalahan yang sama, “hukuman†yang kita timpakan tidak sejajar.
Orang lain kita habisi, sementara kita memaafkan diri sendiri.
Tindakan yang demikian secara tidak sadar membentuk lingkaran kebencian dalam hati kita (dan hati orang lain).
Lingkaran kebencian dalam hati kita semakin lebar dengan tambahan sifat iri dan dengki melihat keberhasilan orang lain.
Kita selalu berkata:
jika orang lain bisa berbuat demikian, mengapa kita tidak?
Keinginan-keinginan semacam ini hanya akan membuat jauhnya harapan dan kenyataan.
Jadi, ketika harapan tersebut gagal, yang muncul adalah kebencian atas kegagalan tadi.
Ketika muncul benci, kita lantas mengalihkan kesalahan pada orang lain dan meledaklah emosi kita dengan cara yang tidak terkendali.
Introspeksi diri
Terdapat salah satu kata mutiara
Tolong & Bantulah Orang Lain.
Jika Tidak,
Setidaknya jangan mencelakan orang lain.
Dalai Lama
Ini mengandung dua pengertian.
Pertama,
untuk apa mengurusi orang lain seolah kita tidak cukup mengurusi diri sendiri.
Kedua,
sebenarnya, mengurus diri sendiri lebih penting karena orang yang terbiasa melihat orang lain akan lupa dengan kekurangan dirinya.
Kita merasa sudah bisa ini dan itu, padahal kenyataannya tidak.
Contoh sepele, dalam hal hubungan dengan kekasih, kadang kita bisa memerintahkannya agar tunduk pada keinginan kita.
Tapi, pernahkah kita mengalah kepadanya?
Yang dimaksud mengalah di sini adalah tidak meributkan sikap mengalah kita.
Jika kita terus mengintrospeksi diri,
kalau perlu dalam tataran tertentu menyalahkan diri sendiri, kita tidak akan mendapatkan kesempatan untuk melihat kesalahan orang lain. Semakin banyak kita mengkritik diri, tanpa sadar sebenarnya kita sedang berusaha mengendalikan emosi.
Hasilnya pasti ampuh, kita tidak akan meledak-ledak ketika marah, atau tertawa berlebihan saat bahagia.
Semuanya disesuaikan pada kenyataan hidup bahwa sedih dan senang hanya tipis bedanya.