Rabu, 15 Februari 2012

Emosi itu apa

Apa yang ada dalam benak Anda ketika kata “emosi” disebutkan? 
Persepsi banyak orang hampir serupa, bahwa emosi identik dengan kemarahan. 
Dengan demikian, emosi adalah marah dan marah adalah emosi! 
Pada sisi lain, kita jarang mendengar kata emosi dikaitkan dengan ekspresi jijik, takut, senang, kasmaran, sedih, dan lainnya. Dalam perspektif orang kebanyakan (baca: orang awam) emosi berarti marah. 
Akan tetapi, emosi dalam psikologi bukan hanya marah. 
Marah hanyalah satu dari sekian banyak jenis emosi. 
Sedih adalah bagian dari emosi. 
Jijik adalah bagian dari emosi.

Demikian pula rasa senang, bahagia, euforia, jatuh cinta, bete, terkejut, pucat pasi, dan sebagainya, itu semua adalah bagian dari emosi. 
Pada intinya, ada beragam jenis emosi dalam diri manusia, di mana setiap emosi memiliki ciri, karakteristik, dan pengungkapan yang berbeda dengan emosi lainnya.

Sejatinya, pembahasan emosi dalam psikologi memiliki tempat yang istimewa. 
Emosi termasuk objek kajian terbesar dalam psikologi. 
Pengungkapan dan penjabaran tentang emosi memungkinkan manusia untuk menelaah dirinya secara lebih luas dan mendalam.

Pertanyaannya sekarang, apa yang dimaksud emosi menurut ilmu psikologi? 
Tidak ada jawaban yang pasti. 
Walaupun emosi itu sangat mudah dideteksi, dilihat, dan dirasakan bahkan oleh semua orang, emosi terbilang sulit didefinisikan oleh psikolog kawakan sekalipun.

Salah satu penyebabnya adalah karena ada banyak jenis emosi yang dirasakan manusia sehingga perbendaharaan kata yang ada tidak cukup untuk mewakilinya. 
Dalam konteks ini kita sering berkata, 
“Gimana ya, apa yang aku rasakan sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata!”

Karena sulitnya mendefinisikan emosi, di antara psikolog pun tidak ada “kata sepakat” tentang apa itu emosi. 
Lindsay-Hartz menganggap hal ini sebagai sebuah ironi. 
Dia mengatakan, 
“Ironically, we probably know more about the rings of Saturn than the emotions we experience every day!” 
Artinya, manusia itu lebih mengetahui seluk beluk beragam benda luar angkasa, semacam cincin Saturnus, daripada emosi yang ada dalam dirinya dan dirasakan setiap hari.

Untuk menyiasati kesulitan tersebut, ketika membahas apa sebenarnya emosi, para psikolog hanya mengungkapkan kriteria, ciri-ciri, atau panduan yang bisa menuntun seseorang untuk memahami apa dan bagaimana emosi itu. 
Setidaknya ada lima hal yang dapat memandu kita dalam memahami emosi.


Pertama, 
emosi adalah sesuatu yang kita rasakan pada saat terjadinya, semisal ketika marah, 
kita merasakan bahwa kita marah. 

Kedua, 
emosi dikenal bersifat fisiologis dan berbasis pada perasaan emosional, artinya emosi mempengaruhi fisik, semacam jantung berdebar, berkeringat, melonjaknya hormon-hormon dalam darah, dan lainnya. 

Ketiga, 
emosi pada saat kedatangannya menimbulkan efek pada persepsi, pemikiran, dan perilaku.

Keempat, 
emosi menimbulkan dorongan atau motivasi pada orang yang mengalaminya, 
dengan kata lain, emosi melahirkan energi yang menjadikan seseorang “bergerak”. 

Kelima, 
emosi mengacu pada cara pengekspresian yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, ekspresi wajah, isyarat, tindakan tertentu, dan sebagainya.

Panduan ini seakan kembali menegaskan bahwa emosi adalah sesuatu yang khas yang hadir dalam hidup manusia. 
Ia sangat mudah dirasakan namun sulit didefiniskan. 
Ia demikian luas, kompleks, dan terkadang sangat subjektif, sehingga sebuah definisi hanya akan membatasi dan mengaburkan makna emosi yang sebenarnya.
Selain perangkat intelektual, fisik, dan spiritual, manusia pun dikaruniai satu perangkat dahsyat yang bernama emosi. 
Dengan intelektual, manusia bisa berpikir, 
dengan fisik manusia manusia bisa bergerak dan melakukan aneka pekerjaan,
dengan spiritual, manusia bisa mengenal dan menjalin hubungan dengan dunia metafisika. 
Bagaimana dengan emosi? 
Ada macam-macam emosi yang membuat manusia mampu merasa, mengungkapkan apa yang dirasakannya, sekaligus memberi warna dan dinamika bagi perangkat lainnya.

Tanpa adanya emosi, manusia bukan lagi manusia, tidak ada dinamika, dramatisasi, canda tawa, dia akan menjadi robot tak berperasaan yang hanya memandang hidup secara sempit, 
hitam putih,
benar salah. 
Tanpa adanya emosi, walau hanya sebagian saja, manusia bisa lebih kejam dari binatang yang paling kejam sekali pun.

Lihatlah para psikopat, mereka umumnya memiliki kecerdasan dan kecerdikan di atas rata-rata, penampilannya menawan, skill-nya menakjubkan, kata-katanya meyakinkan, pembawaannya menawan, namun sayang bagian otak yang bernama amigdala —mengatur aktivasi emosi-emosi yang tidak disukai, semacam ketakutan dan kecemasan—mengalami kerusakan sehingga mereka tidak lagi memiliki perasaan dan pemahaman terhadap moralitas yang paling dasar sekali pun.

Itulah mengapa, mereka tidak memiliki rasa belas kasihan, kengerian, penyesalan, dan segala haru biru perasaan. 
Bagi mereka, tidak ada bedanya antara menusuk mata boneka dengan mata manusia, 
antara menusuk-nusuk benda mati dengan mencabik-cabik tubuh makhluk bernyawa. 
Pertimbangan baik dan buruk hanya diefektori oleh rasio belaka atau segala sesuatu yang dapat memuaskan keinginannya.

Sejatinya, pada diri manusia normal, bersemayam sejumlah emosi yang memungkinkannya untuk berekspresi dengan beragam tampilan. 
Para psikolog membedakan emosi-emosi tersebut ke dalam dua katagori, yaitu emosi dasar (primer) dan emosi campuran (mixed). 
R. Plutchik misalnya, dia mengungkapkan ada empat emosi dasar dalam diri manusia, yaitu 
kegembiraan (joy), 
ketakutan (fear), 
kesedihan (sadness), dan 
kemarahan (anger).

Keempat jenis emosi ini umumnya disepakati sebagai emosi dasar. 
Di luar keempat emosi tersebut, ada dua emosi lain yang belum disepakati sebagai emosi dasar, yaitu 
keterkejutan (surprise) dan 
rasa jijik (disgust). 
Walaupun belum ada kata sepakat di antara para pakar, akan tetapi keenam emosi dasar ini dapat ditemukan pada semua manusia normal di seluruh dunia.

Sarlito Wirawan (2000: 30) mengungkapkan kesimpulan tersebut, 
“Para peneliti mendapatkan bukti yang sangat meyakinkan bahwa setidaknya terdapat enam bentuk emosi yang dapat diidentifikasikan di seluruh dunia, yaitu rasa gembira, takut, marah, sedih, jijik, dan terkejut.”

Perpaduan di antara keenam emosi dasar tersebut atau perpaduan dengan emosi lainnya akan melahirkan emosi jenis kedua, yaitu 
emosi campuran.

Sebagai contoh, emosi senang (joy) yang berkombinasi dengan penerimaan (acceptance), akan melahirkan emosi cinta (love), emosi sedih (sadness) yang berkombinasi dengan kejutan (surprise) akan melahirkan kekecewaan yang mendalam (disappointment). 
Bisa pula terjadi kombinasi antara dua emosi tidak sejenis, semacam cinta (love) dengan marah (anger) yang melahirkan rasa cemburu (jealousy).

Macam-macam emosi ini, baik dasar maupun campuran, merupakan komponen penting dalam menjaga eksistensi hidup manusia, selama emosi tersebut tetap terkontrol dan mampu bersinergi dengan komponen-komponen lainnya, semacam rasio, spiritual, dan fisik.

Proses sinergi dan kontrol yang baik akan menjadikan emosi manusia mampu berjalan sesuai fitrahnya, yaitu sebagai pembangkit energi (energizer), sebagai pembawa informasi (messenger), maupun sebagai media komunikasi, 
intra maupun interpersonal.
Pengendalian emosi jiwa 

Bagaimana cara seseorang mengendalikan emosi jiwa? 
Kadang, ketika berhadapan dengan kenyataan, ada saja harapan kita yang tidak terkabul. 
Belum lagi jika kita bertemu dengan orang-orang licik dalam pekerjaan atau kehidupan, yang kadang menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadinya. 
Kita yang selalu berusaha menjadi orang baik, malah ditelikung dari belakang.

Belum lagi dengan sikap orang-orang yang seharusnya mendukung kita. 
Kadang, saat kita jatuh, mereka tidak ada dan justru semakin menjatuhkan mental kita. 
Berikut ini tips untuk mengontrol emosi.

Jangan mudah menyalahkan sesuatu yang datang dari luar diri  


 Kadang, kita begitu mudah menyalahkan orang lain, tetapi selalu beralibi setiap kita melakukan kesalahan. Bahkan, jika orang lain dan kita melakukan kesalahan yang sama, “hukuman” yang kita timpakan tidak sejajar. 
Orang lain kita habisi, sementara kita memaafkan diri sendiri.

Tindakan yang demikian secara tidak sadar membentuk lingkaran kebencian dalam hati kita (dan hati orang lain). 
Lingkaran kebencian dalam hati kita semakin lebar dengan tambahan sifat iri dan dengki melihat keberhasilan orang lain. 
Kita selalu berkata: 
jika orang lain bisa berbuat demikian, mengapa kita tidak?

Keinginan-keinginan semacam ini hanya akan membuat jauhnya harapan dan kenyataan. 
Jadi, ketika harapan tersebut gagal, yang muncul adalah kebencian atas kegagalan tadi. 
Ketika muncul benci, kita lantas mengalihkan kesalahan pada orang lain dan meledaklah emosi kita dengan cara yang tidak terkendali.  

  Introspeksi diri 

Terdapat salah satu kata mutiara 
Jika Mampu,
Tolong & Bantulah Orang Lain.
Jika Tidak,
Setidaknya jangan mencelakan orang lain.    

Dalai Lama    


Ini mengandung dua pengertian. 
Pertama, 
untuk apa mengurusi orang lain seolah kita tidak cukup mengurusi diri sendiri. 
Kedua, 
sebenarnya, mengurus diri sendiri lebih penting karena orang yang terbiasa melihat orang lain akan lupa dengan kekurangan dirinya. 
Kita merasa sudah bisa ini dan itu, padahal kenyataannya tidak.

Contoh sepele, dalam hal hubungan dengan kekasih, kadang kita bisa memerintahkannya agar tunduk pada keinginan kita. 
Tapi, pernahkah kita mengalah kepadanya? 
Yang dimaksud mengalah di sini adalah tidak meributkan sikap mengalah kita.

Jika kita terus mengintrospeksi diri, 
kalau perlu dalam tataran tertentu menyalahkan diri sendiri, kita tidak akan mendapatkan kesempatan untuk melihat kesalahan orang lain. Semakin banyak kita mengkritik diri, tanpa sadar sebenarnya kita sedang berusaha mengendalikan emosi.

Hasilnya pasti ampuh, kita tidak akan meledak-ledak ketika marah, atau tertawa berlebihan saat bahagia. 
Semuanya disesuaikan pada kenyataan hidup bahwa sedih dan senang hanya tipis bedanya.

0 komentar:

Posting Komentar

ada pesan? silahkan dsini
comment? please here